Belajar Menjadi Anak-Anak Lagi
Sewaktu saya kecil dulu, saya sering mendengar orang dewasa yang berkata, “Enak ya jadi anak-anak.” Omongan itu saya anggap angin lalu saja. Sebagai anak-anak, saya justru ingin cepat-cepat besar.
Setelah saya menjadi orang dewasa, saya baru memahami perkataan itu. Pikiran ingin menjadi anak-anak lagi terkadang terlintas. Sungguh mengherankan, saat anak-anak ingin cepat besar. Namun setelah besar, justru ingin menjadi anak-anak lagi.
Saat mengobrol dengan teman-teman pun, banyak yang mengiyakan. Diakui atau pun tidak, banyak orang yang merasa iri kepada anak-anak.
Namun, apa sebenarnya yang anak-anak miliki, yang orang dewasa tidak punya? Apa sebenarnya yang dulu kita miliki, namun kita lupakan seiring bertambahnya usia?
Jawaban pertanyaan ini saya dapatkan saat membaca tulisan Najwa Zebian, dalam bukunya, Mind Platter. Childhood Nostalgia. Nostalgia masa kanak-kanak. Inilah salah satu refleksi Zebian dalam buku itu.
Sebagai anak-anak, kamu biasanya mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensinya. Kamu hanya membayangkan hasil yang akan kamu dapat.
Sebelum melompat, kamu tidak berpikir jatuhnya, tapi ke mana kamu akan berada setelah melompat. Kamu tidak peduli siapa yang melihat, atau apa yang akan mereka pikirkan.
Sebelum berbicara, kamu tidak berpikir siapa yang mendengarkan selain orang yang kamu ajak bicara. Kamu tidak tahu arti dari menghakimi.
Kamu bertindak secara spontan. Seringkali tindakan ini yang membuatmu bahagia seketika dan menjauh dari hal-hal yang membuatmu tertekan.
Aku ingin menjadi anak-anak lagi.
Aku mau melompat dan jatuh sejuta kali. Aku mau tidak ambil peduli apa yang orang lain pikirkan selama aku merasa bahagia dengan keputusan yang aku ambil.
Aku mau menjadi anak-anak lagi.
Wahai diriku, tolong izinkan aku menjadi anak-anak lagi.
Mungkin, itulah yang kita rasakan saat ingin menjadi anak-anak lagi. Kita sebenarnya bukan ingin kembali menjadi anak-anak. Namun kita ingin bisa kembali bertindak berdasarkan suara hati kita.
Ya. Itulah kemampuan yang kita lupakan seiring bertambahnya usia. Kemampuan untuk bertindak sesuai bisikan hati kita.
Menjadi orang dewasa membuat kita menghadapi banyak konsekuensi, yang seringkali didorong oleh ego dan gengsi kita. Ego dan gengsi yang membuat kita tertekan oleh pikiran, “Apa nanti kata orang kalau….”
Lalu, bagaimana cara agar kembali memiliki kemampuan itu lagi? Kita bisa belajar dari guru terbaik: anak-anak itu sendiri.
Di kejarAURORA, kami melakukannya dengan mengikuti kegiatan anak-anak. Biarkan anak-anak memimpin kegiatan, sesuai dengan yang anak-anak inginkan. Kami bermain mengikuti permainan yang anak-anak inginkan.
Karena anak-anak adalah gurunya, tentu kami sebagai murid harus tahu diri. Kami menyesuaikan dengan pelajaran yang akan anak-anak berikan hari itu.
Di satu sisi, kami belajar dari atmosfer yang anak-anak ciptakan. Dari mengamati bagaimana bebasnya jiwa anak-anak, kami belajar untuk mendengar kembali suara hati kami. Dengan mengikuti bagaimana anak-anak bergerak, kami belajar untuk menghidupkan kembali jiwa, yang meredup karena terlalu banyak mengkhawatirkan yang sebenarnya tidak perlu.
Di sisi lain, perasaan berharga dalam diri anak-anak pun terpupuk. Anak-anak memiliki keinginan untuk bisa menjadi orang dewasa. Dari sanalah anak-anak memiliki kekaguman terhadap orang dewasa. Dengan menghabiskan waktu sesuai keinginan mereka, kami sebenarnya sedang mencoba menunjukkan bahwa diri anak-anak itu berharga sebagaimana adanya mereka.
Perasaan berharga ini, yang kelak akan menjadi bekal agar anak-anak ini tetap merasa percaya diri untuk mendengarkan suara hatinya saat mereka dewasa nanti. Bermain dengan anak-anak itu, memang hubungan mutualisme. Baik kita sebagai orang dewasa dan anak-anak sama-sama diuntungkan, sama-sama belajar banyak.
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu ingin menjadi anak-anak lagi?
Mungkin, kamu perlu ikut dengan kami. Yuk, kita belajar menjadi anak-anak lagi. Belajar dari ahlinya: para anak-anak.